Anda mungkin mendengar pepatah “Jika itu tidak membunuhmu, itu akan membuatmu lebih kuat”. Atau jika Anda penggemar Kelly Clarkson, Anda mungkin tahu lagunya “Stronger”, di mana baris pertama dari refrainnya mengatakan, “Apa yang tidak membunuhmu membuatmu lebih kuat”. Pertama kali saya mendengar ungkapan ini adalah ketika saya menghadiri sebuah lokakarya bertahun-tahun yang lalu. Pembicara meminta salah satu peserta untuk datang ke depan dan menyajikan sesuatu. Saya lupa apa itu. Yang saya ingat peserta itu terlihat ragu-ragu, takut untuk maju. Kemudian pembicara mengatakan, “jangan takut. Coba dulu. Itu pasti tidak akan membunuh kamu. Jika itu tidak membunuhmu, itu akan membuatmu lebih kuat! “. (Catatan: pembicara berbicara dalam Bahasa Inggris, sehingga tentu tidak terasa sekasar ini)
Apa yang saya pahami dari kejadian itu adalah bahwa ungkapan ini berarti ketika kita melangkah keluar dari Zona Nyaman kita dan melakukan sesuatu yang kita takuti – tentunya tanpa risiko kematian – akan membuat kita lebih kuat, apa pun hasilnya. Ini berlaku untuk bayi maupun orang dewasa. Langkah pertama berjalan untuk bayi, akan membuat kakinya lebih kuat, yang pada gilirannya akan menolongnya berjalan. Melakukan “pidato di depan umum” pertama – baik di sekolah atau di tempat kerja – mungkin membuat Anda takut setengah mati, tetapi begitu Anda terbiasa, Anda akan merasa lebih mudah untuk yang kedua kalinya, yang ketiga, dan seterusnya.
Apakah ini selalu terjadi? Apakah melakukan sesuatu yang kita takuti akan secara otomatis membuat kita lebih kuat, apa pun hasilnya? Sayangnya, jawabannya adalah TIDAK. Ada orang yang setelah mencoba melakukan sesuatu yang mereka takuti, memutuskan untuk tidak melakukannya lagi. Sama sekali. Meskipun mereka keluar dari pengalaman dalam keadaan “hidup”, tetapi mereka menjadi lebih lemah, bukan lebih kuat.
Saya percaya ada dua alasan di balik ini. Pertama, karena pengalaman itu sendiri bisa dianggap gagal. Saya ingat melihat seorang anak laki-laki berusia 10 tahun mencoba mengendarai sepeda. Setelah satu jam mencoba dan berkali-kali jatuh, dia menyerah. Tidak pernah mau belajar mengendarai sepeda lagi. Terlalu berat bagi dia. Mungkin.
Ini bukan hanya masalah anak-anak. Hal yang sama bisa terjadi pada orang dewasa juga. Saya mendengar banyak kisah para profesional yang, setelah mendapat banyak keluhan dan kritik dalam presentasi pertama mereka, memutuskan bahwa presentasi publik bukan untuk mereka. “Saya bisa membuat presentasi yang baik, tetapi saya tidak bisa menyampaikannya dengan baik.” Itu alasan mereka.
Hal yang sama berlaku bagi mereka yang pertama kali menduduki posisi kepemimpinan. Mencoba melakukan yang terbaik untuk memimpin, hanya untuk mendapatkan banyak resistensi dari tim mereka. Kemudian mereka menyimpulkan, “Saya tidak cocok untuk menjadi pemimpin.” Kasus serupa juga kadang terjadi pada orang yang mencoba belajar berenang, bernyanyi, atau mungkin bungee jumping. Beberapa dari mereka menyerah setelah percobaan pertama atau kedua hasilnya buruk bagi mereka.
Alasan kedua, terkait dengan yang pertama, adalah karena PERSEPSI mereka tentang pengalaman. Kejadian itu mungkin tidak fatal, tetapi mereka mungkin menganggapnya sebagai kegagalan total. Misalnya, seorang karyawan muda, karena kompetensi teknisnya, dipromosikan sebagai pemimpin tim yang terdiri dari 5 orang. Salah satunya adalah karyawan yang lebih tua. Kesenjangan generasi ini menciptakan ketegangan antara keduanya yang semakin memburuk seiring waktu. Selama periode ini, anak muda ini tidak ada masalah dengan 4 anggota tim lainnya, karena mereka berada di rentang usia yang hampir sama.
Dalam waktu kurang dari 3 bulan, konflik bisu itu akhirnya memuncak dalam pertengkaran besar dan terbuka di siang hari bolong. Semua orang tahu, dan semua orang membicarakannya. Tidak heran jika pemimpin muda ini menganggap insiden itu sebagai kegagalan total di pihaknya karena sejauh yang dia tahu, insiden semacam ini tidak pernah terjadi di perusahaan itu sebelumnya. Menurut Anda apa yang akan terjadi nanti?
Sayangnya, dia memilih untuk mengundurkan diri sebagai pemimpin karena dia hanya melihat konflik. Dia tidak pemperhatikan fakta bahwa dia memiliki hubungan yang baik dengan 4 rekan satu timnya. Dia juga mengabaikan fakta bahwa dia berhasil tetap tenang dalam 2 bulan pertama. Dan ya, memang reputasinya tercoreng, tetapi ini bukan masalah yang tidak dapat diperbaiki. Jika dia dapat memperbaiki hubungannya dengan rekan seniornya itu, dia akan meningkatkan kredibilitasnya di depan timnya, rekan-rekannya, dan bahkan bosnya.
Kembali ke situasi kita saat ini. Apa hubungannya ini dengan pandemi ini? Kita bisa mendapatkan tiga pelajaran yang bisa kita terapkan sekarang:
- Mari kita percaya bahwa kita akan keluar dari situasi ini, hidup, sehat, dan lebih kuat. Hanya dengan keyakinan seperti itu di pikiran kita, kita dapat melewati situasi ini dengan medali pemenang di tangan kita. Ya, kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa ada orang yang meninggal karena covid-19. Pada saat yang sama, yang mana yang Anda inginkan: percayalah mereka akan mati namun tetap hidup dan menceritakan kisahnya; atau, terus percaya bahwa mereka akan sembuh, sampai napas terakhir mereka? Yang pertama adalah pesimistis, zombie, pecundang. Yang terakhir adalah optimistik, pemenang, pahlawan.
- Mari kita menerima situasi ini sebagai peluang untuk tumbuh. Berkembang dalam kemampuan kita untuk mengelola sikap dan stres kita, meningkatkan keterampilan komunikasi kita, serta meningkatkan hubungan kita dengan orang-orang di sekitar kita dan tim kita. Kita juga bisa meningkatkan kepercayaan diri melalui melakukan sendiri hal-hal yang kita biasa meminta bantuan orang lain, melakukan sesuatu secara berbeda (bekerja dari rumah mendorong kita untuk menata ulang gaya hidup dan kebiasaan kita), atau lebih percaya diri dalam melakukan hal-hal baru. Berhenti menyesali masa lalu dan lanjutkan.
- Mari kita menganggap kegagalan sebagai kesempatan untuk belajar, bukan akhir dari segalanya. Kegagalan sangat mungkin terjadi ketika kita keluar dari zona nyaman kita dan belajar hal-hal baru. Ketika kita gagal, coba lagi. Gagal kedua kalinya, coba pendekatan lain. Gagal tiga kali, mundur sedikit, evaluasi, dan memulai kembali. Jangan menyerah.
Selain mereka yang menjadi lebih kuat dan mereka yang menjadi lemah, ada orang tipe ketiga: mereka yang tidak merasakan apa-apa. Seperti seseorang yang keluar dari rumah yang terbakar tanpa goresan. Mereka tetap sama, sementara semua orang telah berhasil beradaptasi dengan situasi – baik atau buruk. Bagaikan penumpang kereta api yang melewati pemandangan yang sangat indah dengan tertidur nyenyak.
Covid-19 kemungkinan besar tidak akan membunuh kita secara fisik. Tapi ketakutan dan kecemasan bisa “membunuh” kita secara mental. Jangan biarkan hal itu terjadi. Mari kita pastikan bahwa kita melalui semua ini tidak “tertidur” tetapi menjadi lebih baik. Ingat, apa yang tidak membunuh kita – secara fisik atau mental – akan membuat kita lebih kuat.
Joshua Siregar – Senior Trainer Dale Carnegie Indonesia